Keberanian adalah perjuangan melawan ketakutan, menaklukkan rasa takut, bukan ketiadaan akan rasa takut itu sendiri. -
-Mark Twain-
Manusia bisa terus berevolusi, tidak punah hingga kini berkat
kemampuannya beradaptasi untuk bertahan hidup dalam menghadapi tantangan
dari lingkungannya atau seleksi alam.
Insting untuk bertahan hidup dan berkembang biak menjadi motivator
terkuat dalam setiap gerak langkah manusia dari jaman purbakala hingga
jaman modern.
Emosi menjadi alat penting untuk manusia berperilaku dan menyesuaikan
diri dengan lingkungannya dan merespons stimulus yang ada. Reaksi yang
cepat seringkali menentukan hidup atau mati bagi manusia di jaman purba.
Emosi yang vital bagi keselamatan nyawa ini adalah emosi-emosi yang
memicu reaksi untuk bertindak dengan cepat. Contohnya seperti emosi
kaget, jijik, dan ketakutan atau kemarahan yang dirasakan secara intens.
Emosi-emosi ini terprogram untuk memperingatkan insting manusia agar
menyelamatkan diri dengan memotivasi suatu tindakan yang impulsif.
Misalnya terhadap bahaya saat menghadapi binatang buas yang hendak
menyerang atau menemui makanan atau zat sudah yang busuk/beracun.
Kebanyakan dari emosi-emosi yang direspon dengan aksi yang sigap
untuk menyelamatkan diri ini berupa emosi-emosi negatif. Contohnya;
ketika seorang manusia di jaman purba tiba-tiba melihat macan bertaring
pedang hendak memangsanya, dia akan merasakan perasaan takut yang amat
negatif.
Lalu emosi negatif ini akan merangsang adrenalin untuk memacu
peredaran darah, penguatan otot dan memicu jantung untuk bersiap-siap
melawan atau kabur. Tubuhnya akan sangat termotivasi untuk bergerak
cepat tanpa perlu berpikir lama.
Kemampuan otak untuk berpikir panjang (prefrontal korteks dan
hippocampus untuk bagian memori) dihentikan untuk sementara oleh otak
tengah dan belakang (amygdala dan sususan saraf) agar bertindak dengan cepat secara spontan dalam rangka menyelamatkan diri.
Sedangkan di sisi lain, emosi-emosi yang positif seperti perasaan
senang dan bahagia diproses secara perlahan oleh otak karena tidak
dianggap terlalu mendesak untuk ditindaklanjuti. Jika ada manusia purba
yang lebih mengembangkan emosi-emosi positif ini, mereka pasti sudah
punah karena merasa lebih optimis serta tidak mudah curiga/waspada
sehingga rentan diserang.
Kendati demikian, kini jaman sudah berubah. Keadaan sudah relatif
aman dan tidak membutuhkan reaksi cepat seperti berlari karena
ketakutan.
Tapi sayangnya, emosi-emosi negatif telah mengikuti evolusi dari
manusia-manusia yang selamat berkat mengikuti instingnya dalam bertahan
hidup. Manusia modern telah terprogram psikologinya secara genetis
menjadi lebih mudah berpikiran negatif daripada berpikir positif.
Padahal, kondisi di masa sekarang mensyaratkan pikiran yang positif
untuk sukses. Penelitian membuktikan, orang-orang yang optimis,
antusias, dan ramah pada sesama akan cenderung lebih sukses dalam bidang
usaha/pekerjaannya.
Walaupun begitu, masih banyak orang yang lebih gampang cemas,
depresi, takut mengambil resiko, pesimis, tidak sabaran, mudah marah,
dan seterusnya.
Sebagai ilustrasi, ada seorang investor dan seorang karyawan yang
sedang mengalami masa krisis moneter. Harga saham-saham perusahaan
berjatuhan dan banyak karyawan tidak mendapatkan promosi malah banyak
yang dipecat.
Ketika harga saham jatuh, investor tersebut menjadi panik dan takut
sehingga timbul reaksi yang emosional tanpa berpikir panjang. Investor
tersebut segera mencairkan aset investasinya karena takut rugi.
Padahal tindakan yang lebih menguntungkan justru malah membeli
saham-saham yang potensial mumpung harganya murah. Responsnya yang
otomatis dimotivasi oleh emosi negatif seperti rasa takut yang sudah
tertanam kuat.
Begitu juga pada kasus sang karyawan, begitu mengetahui dia tidak
mendapatkan promosi, dia langsung bereaksi berdasarkan emosi negatif
berupa amarah.
Dia bisa langsung mendatangi atasannya dan marah-marah atau memilih
berhenti kerja dan keluar dari kantornya. Keduanya memberikan hasil yang
merugikan, karena tindakan yang lebih baik bagi masa depan adalah
bersabar dan tetap bertahan hingga mendapatkan pekerjaan yang lebih
baik.
Statistik menunjukkan betapa orang-orang yang menunjukkan emosi-emosi
negatif semakin banyak. Banyak orang depresi, stres, suka marah-marah
dan takut berubah atau takut mengambil peluang karena beresiko.
Para pemimpin di perusahaan-perusahaan lebih suka memakai amarah
untuk memotivasi pegawainya daripada menggunakan inspirasi yang
mendorong semangat kerja karyawan secara positif.
Faktanya, beberapa riset telah membuktikan; dari jamannya Charles Darwin, lalu Paul Ekman, hingga pemenang nobel Profesor Daniel Kahneman dan para pemrakasa gerakan psikologi positif seperti Martin Seligman, Mihaly Csikszentmihalyi,
dan banyak peneliti lainnya yang menunjukkan hasil studi tentang
kecerdasan emosional, evolusi emosi, dan perkembangan kemampuan kognitif
harus condong ke arah yang positif.
Evolusi memang berjalan lambat, manusia baru bisa mengekspresikan
emosi lewat bahasa ratusan ribu tahun yang lalu padahal bumi sudah mulai
menampung kehidupan mulai jutaan tahun yang lalu. Kini, kita mesti
memulai evolusi yang memihak emosi positif untuk kesuksesan di jaman
sekarang.
Orang-orang yang bisa mengontrol impuls-nya akibat dorongan emosi
negatif akan lebih berhasil. Perasaan-perasaan positif seperti
cinta-kasih, empati, optimisme, kegigihan akan membawa kebahagiaan dan
kesuksesan dalam karir, hubungan, serta kehidupan pada umumnya.
Akan tetapi, melatih diri untuk lebih positif membutuhkan kekuatan
tekad/kehendak yang kuat seperti kita melatih otot-otot agar besar dan
kuat. Walaupun memakan banyak waktu dan tenaga, semuanya tidak akan
percuma. Segala perbuatan reaktif yang dipicu oleh emosi-emosi negatif
tanpa berpikir panjang harus dapat diprogram ulang sampai level
psikologi-genetik.
Comments (0)
Posting Komentar